Rabu, 16 Desember 2009

WISATA ALAM

0 komentar

Oleh : Retno HY/PR


SELAMA ini, Wanawisata Gunung Puntang di kawasan Bandung selatan, tepat di Desa/Kecamatan Cimaung Kab. Bandung, hanya dikenal kalangan wisatawan petualang. Suasana pegunungan, hutan, dan sungainya memang merupakan kawasan strategis untuk camping (berkemah).


Ada juga yang mengenal Wanawisata Gunung Puntang sebagai kawasan wisata sejarah karena dulunya merupakan kompleks Stasiun Malabar Gunung Puntang yang saat itu (1919) merupakan Stasiun Radio terbesar pertama di Asia, dipimpin oleh Dr. Ir. C.J. de Groot.


Anggapan tersebut tidak bisa dipersalahkan karena wanawisata dengan luas 54,84 ha tersebut berada di lahan RPH Logawa, yang dikelola BKPH Banjaran, KPH Bandung Selatan. Selain itu, wanawisata yang berada di ketinggian 1.300 m dpl, konfigurasi lapangan pada umumnya bergelombang dengan suhu udara 18 sampai 23 derajat Celsius dan curah hujan 2.000 hingga 2.500 mm/tahun, sangat cocok untuk wisata berpetualang atau bermalam dengan mendirikan tenda (berkemah) atau sekadar menikmati udara segar pegunungan.


Sebenarnya, kalau mau sedikit mengeluarkan keringat dan berkeliling seputar kawasan, ada banyak hal yang dapat dinikmati. “Gunung Puntang merupakan wanawisata yang sangat komplet. Selain dapat menikmati kesegaran alam pegunungan dengan hutannya yang masih hijau lebat dan air sungai yang jernih dan dapat direnangi, pengunjung juga dapat menyaksikan satwa dan tetumbuhannya yang menjadikan Gunung Puntang sebagai objek wisata pendidikan,” ujar Kasubdin Pariwisata Disbudpar Jabar, Drs. Eddi Kusnadi.

Di Wana Wisata Gunung Puntang (WWGP), tidak jauh dari pintu masuk wanawisata, setelah membayar uang masuk Rp 4.000,00 per orang, pengunjung langsung dapat menikmati keteduhan pepohonan dan suara air mengalir. Tidak hanya suara desir dedaunan pohon pinus saat tertiup angin, harum pohon saninten, jamuju, ki hujan, ki damar, dan pepohonan langka lainnya akan menyapa hidung.


Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi anak-anak saat melintasi jembatan gantung yang membentang di antara tambang baja dan di bawahnya mengalir sungai dipenuhi bebatuan dengan airnya yang bening. “Datanglah lebih pagi, selain sambil berolah raga juga akan lebih tenang berekreasi. Karena semakin siang akan banyak pengunjung yang bermain di sungai,” ujar Endi, salah seorang petugas Wana Wisata Gunung Puntang.


Air jernih yang mengalir di antara bebatuan besar semakin siang semakin tidak terasa dingin. Ratusan meter, bahkan mungkin lebih, anak-anak maupun orang tua, terlihat berjejer sepanjang sungai, di antara berendam di air maupun berjemur di bebatuan.


Sebenarnya sebelum menikmati dinginnya air sungai yang berasal dari Curug Siliwangi, ada hal yang lebih mengasyikkan saat mengunjungi WWGP. Sekitar 500 meter dari pintu gerbang, kita akan menemui tanah lapang yang biasa dipergunakan untuk berbagai kegiatan. Tidak jauh dari lapang tersebut kita akan menemukan lokasi Kampung Radio (Radio Dorf) meski hanya tinggal tembok batu.


Di bebatuan dekat pintu masuk bangunan tertulis nama-nama siapa yang pernah tinggal di kampung itu, di antaranya Mr. Han Moo Key, Mr. Nelan, Mr. Vallaken, Mr. Bickman, Mr. Hodskey, Ir. Ong Keh Kong, Djukanda, Sudjono, dan Sopandi. Menurut sejarah, di lokasi perkampungan karyawan stasion yang dipimpin oleh Dr. Ir. C.J. de Groot (1923) tersebut dahulunya kompleks rumah dinas yang dilengkapi lapangan tenis, kolam renang, pertokoan, bahkan bioskop.


Masih di dekat lapang dan reruntuhan Kampung Radio, terdapat dua gua yang menarik perhatian. Kedua gua itu konon dibuat oleh Belanda pada tahun 1940 dan kemungkinan dulu keduanya saling berhubungan. Menurut keterangan dari para petugas di sana, kedua gua tersebut dulunya dipakai tempat untuk menyimpan komponen peralatan stasiun radio dan telefon.


Untuk masuk ke dalam dibutuhkan kehati-hatian karena selain gelap gulita, semakin ke dalam jalanan becek dan berbatu. Mulut gua ini cukup tersembunyi di antara lekukan tanah yang bila diperhatikan secara sekilas mirip dengan wajah harimau.


Bila kondisi cuaca sedang bagus (musim panas), kita dapat melakukan forest tracking dengan menyusuri jalan setapak untuk mengunjungi kolam yang dibuat oleh Belanda. Di sini kita dapat melihal lembah Gunung Puntang sekaligus puncaknya yang terkadang tertutup kabut. Bahkan bila cukup waktu, pengunjung dapat mengunjungi Curug Siliwangi yang terdapat di kawasan hutan Gunung Puntang. Dibutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan untuk sampai ke air terjun yang memiliki ketinggian hingga 100 meter lebih tersebut.


Selama perjalanan banyak hal yang ditemui. Berbagai tetumbuhan dan hewan hutan yang sudah sangat langka akan kita jumpai, semisal, manintin, surili, menjangan, sero, burung elang, tekukur, dan ketilang.


Untuk mencapai lokasi Curug Siliwangi ini, sebaiknya menggunakan jasa pemandu setempat agar tidak tersesat dan dapat langsung ke tempat tujuan melalui jalur yang tidak jauh.
Karena kalau sampai tersesat jauh ke dalam hutan, bisa-bisa lupa jalan pulang. Bahkan tidak mustahil, akan bertemu dengan satwa liar berbahaya yang masih menghuni Gunung Puntang, semisal ular sanca hijau, ular cibuk, ulai cai, ular lingas, ular belang, macan tutul, serigala, dan babi hutan.

Masih di kawasan Gunung Puntang, tepatnya dekat gerbang masuk kawasan WWGP, wisatawan yang membawa keluarga sudah dapat menikmati fasilitas rekreasi “Bougenvile” yang tidak kalah menarik. Fasilitas milik swasta berupa taman wisata ini menyediakan dua kolam renang besar dan satu kolam renang untuk anak-anak, serta tiga unit villa menjadi daya tarik tempat wisata ini.
Lewat konsep taman wisata alam, “Bougenvile” menyediakan tempat bermain dengan taman yang dilewati aliran sungai kecil yang airnya sangat jernih berasal dari Gunung Puntang. Kolam renang yang ada di taman itu memperoleh pasokan air langsung dari mata air yang mengalir terus-menerus sehingga selalu jernih dan dingin ini dijamin pengelolanya bebas kaporit.


Selain tiket masuk yang relatif terjangkau, vila-vila yang ada bisa disewa dengan tarif mulai Rp 700.000,00 per malam. Bila rombongan berminat untuk menyewa seluruh lokasi beserta semua fasilitas yang ada, dikenakan biaya sebesar Rp 4 juta rupiah sehari.


Seperti halnya kawasan wisata pegunungan umumnya sekitar Kota Bandung, nasi timbel komplet, gorengan, mi bakso, serta minuman bandrek dan bajigur mudah didapat. Bahkan, kalau sedang musimnya, buah-buahan serta sayuran dengan harga sangat murah dapat jadi buah tangan.

Untuk mencapai Gunung Puntang, wisatawan yang menggunakan kendaraan pribadi dari pusat Kota Bandung, lokasi yang berjarak sekitar 30 kilometer arah selatan dapat melalui Soreang untuk kemudian ke Cimaung atau melalui Buahbatu dan M. Toha untuk kemudian ke Banjaran dan akhirnya ke Cimaung.
Sementara bagi yang menggunakan angkutan umum, mereka dapat menggunakan sarana angkutan dari Leuwipanjang (arah Soreang) atau Tegallega (arah M. Toha) dan Buahbatu (arah Dayeuhkolot).
Dapat juga menggunakan angkutan dari Terminal Kebon Kalapa dan Tegallega yang langsung ke Pangalengan. Untuk seterusnya turun di Cimaung dan disambung angkutan pedesaan atau ojek. Ada baiknya, datanglah lebih pagi. Sambil berolah raga di alam pegunungan juga berekreasi. (Retno HY/”PR”) ***

Sumber : http://www.pasundan.info/travel/gunung-puntang.html

Senin, 07 Desember 2009

WISATA ALAM

0 komentar

GUNUNG PUNTANG
Oleh : Ahidayat

Daerah Bandung Selatan ternyata mempunyai sebuah objek wisata bersejarah yang cukup unik di Gunung Puntang. Bila anda sudah bosan berkunjung ke Ciwidey yang terkenal dengan objek wisata Kawah Putih dan Situ Patenggang-nya, dan andapun telah jenuh berkunjung ke Pengalengan, tidak ada salahnya mencoba berkunjung kekawasan ini.


Gunung Puntang merupakan bagian dari rangkaian pegunungan Malabar. Di kawasan ini terdapat bumi perkemahan yang dikelola oleh pihak Perhutani. Udara yang sejuk pada ketinggian 1290 m, sungai yang jernih ditambah dengan paduan pohon pinus yang tumbuh alami, memberikan kedamaian tersendiri saat berada di lokasi. Keindahan panorama sekitar kawasan ini sudah bisa dinikmati sepanjang perjalanan semenjak dari persimpangan jalan Banjaran-Pangalengan dan jalan Gunung Puntang. Saat tiba di gerbang Perhutani, sempatkan waktu berhenti sejenak untuk melihat hamparan Plato (lempengan) Bandung dari ketinggian. Kabarnya, di musim penghujan, area Malabar merupakan salah satu daerah konsentrasi hujan.


Untuk masuk ke areal perkemahan, dikenakan biaya yang relatif murah. Tiket perorangan 4000 rupiah per hari, sewa lahan per 3 orang 2500 rupiah, sepeda motor 1000 rupiah, sedan/minibus 3000 rupiah sedangkan bus/truk 5000 rupiah. Selain berkemah, aktifitas-aktifitas outdoor seperti forest tracking atau sekedar main air di kali yang jernih dapat menjadi pilihan bagi pengunjung. Sebuah air terjun dengan ketinggian sekitar 100 meter dapat menjadi target alternatif dengan cara melakukan perjalanan selama 2 jam menembus hutan. Untuk mencapai lokasi Curug Siliwangi ini, sebaiknya menggunakan jasa pemandu arah setempat agar tidak tersesat.

Lahan perkemahan yang ada di kawasan ini cukup nyaman. Sudah tersedia fasilitas MCK (sayang, kurang terurus), rumah kecil milik perhutani (cabin) yang bisa disewa (cukup mewah untuk ukuran “anak gunung”), dan yang paling penting, beberapa warung juga tersedia! Bahkan fasilitas listrik juga sudah masuk.

Tidak hanya menawarkan wisata alam yang menyejukkan hati, dikawasan ini terdapat sebuah objek wisata sejarah peninggalan bangsa Belanda yang cukup unik. Pada tahun 1923 area ini merupakan suatu lokasi yang sangat terkenal di dunia karena terdapat sebuah stasiun pemancar radio Malabar yang dirintis oleh Dr. de Groot. Sebuah pemancar radio yang sangat fenomenal dikarenakan antena yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio memiliki panjang 2Km, membentang diantara gunung Malabar dan Halimun dengan ketinggian dari dasar lembah mencapai 500 meter. Sulit untuk dibayangkan bagaimana cara mereka membangun dengan menggunakan teknologi yang ada pada masa tersebut.


Pada bagian dasar lembah, dahulu terdapat suatu bangunan yang cukup besar yang berfungsi sebagai stasiun pemancar guna mendukung komunikasi ke negeri Belanda yang berjarak 12000 km. Uniknya, mereka bisa mendapatkan lokasi yang sangat ideal, karena arah propagasi struktur antena tersebut memang menuju negara Kincir Angin terebut. Terlebih tempat ini cukup tersembunyi.

Uniknya, stasiun ini adalah murni pemancar, sedangkan penerimanya ada di Padalarang (15km) dan Rancaekek (18km). Hebohnya lagi, karena teknologinya masih boros energi, Belanda membangun PLTA di Dago, PLTU di Dayeuh kolot, dan PLTA di Pangalengan, lengkap dengan jaringan distribusinya hanya untuk memenuhi kebutuhan si pemancar ! Pemancar ini antara lain masih menggunakan teknologi kuno yaitu busur listrik (Poulsen) untuk membangkitkan ribuan kilowat gelombang radio dengan panjang gelombang 20 km s/d 7,5 km.

Bagi yang tertarik dengan sejarah stasiun radio Malabar ini, dapat mendownload ulasannya pada majalah tahun 1925 berbahasa Jerman di http://www.xs4all.nl/ . Sedangkan foto-foto antiknya bisa dilihat di http://home.luna.nl/~arjan-muil/radio/history/malabar/malabar1.html


Gedung radio pemancar ini bentuknya sangat cantik di masa itu. Sayangnya, saat ini bangunan tersebut hanya tersisa beberapa potong tembok saja, dikarena struktur bangunannya yang terbuat dari separuh kayu dan separuh tembok. Selain sepotong sisa bangunan tadi, ada juga sisa struktur dinding kolam yang saat ini dikenal dengan nama Kolam Cinta. Konon ada kepercayaan, jika sejoli berpacaran di lokasi ini akan membawa dampak bagi kelangsungan hubungan mereka. Kalau mau mendaki, sisa-sisa antena juga masih bisa dilihat dilereng gunung.

Selain bangunan utama berupa stasiun radio pemancar, pada area Gunung Puntang ini dahulunya juga terdapat perkampungan yang dihuni oleh awak stasiun pemancara dengan fasilitas yang cukup lengkap. Perkampungan yang dikenal dengan Kampung radio (Radio Dorf) ini juga dilengkapi rumah-rumah dinas petugas, lapangan tenis, bahkan konon gedung bioskop juga tersedia di masa tersebut.

Sebuah gua peninggalan Belanda juga bisa ditemukan disini dan bisa ditelusuri dengan mudah meskipun bagian dasar gua cenderung becek pada bagian dalamnya. Mulut gua ini cukup tersembunyi diantara lekukan tanah yang bila diperhatikan secara sekilas mirip dengan wajah harimau.

Kembali ke masa sekarang, pada area Gunung Puntang terdapat sebuah fasilitas rekreasi yang tidak kalah menarik. Fasilitas milik swasta ini berupa taman (namanya :Bougenvile) yang di dalamya terdapat 3 villa, 2 kolam renang, tempat bermain anak dan lokasi ini dialiri beberapa stream sungai kecil yang sangat jernih airnya. Kolam renang yang ada meperoleh pasukan air langsung dari mata air yang mengalir terus menerus sehingga selalu jernih, dingin dan bebas kaporit.


Untuk masuk ke lokasi ini kita harus juga membeli tiket masuk dan parkir mobil. Vila-vila yang ada bisa disewa dengan tarif dari 700 ribu sampai 800 ribu rupaih. Jika berminat untuk menyewa seluruh lokasi beserta semua fasilitas yang ada dikenakan biaya sebesar 4 juta rupiah sehari.

Sebenarnya Bandung selatan menyimpan banyak potensi wisata sejenis, tapi sayang, pamornya kalah dengan Bandung Utara, apalagi untuk mencapainya umumnya melewai daerah Dayeuhkolot yang terkenal langganan banjir…. Saran saya, coba lewat Cimahi menuju Soreang.

Sumber : http://liburan.info

WISATA ALAM

0 komentar

SITU BAGENDIT
Oleh :
Muhtar I.T./”PR


“TOLONGLAH Nyai, berilah hamba sedikit makanan,” ujar pengemis itu mengiba.
Melihat pengemis tua berbaju kotor dan compang-camping masuk ke kenduri di rumahnya, Nyi Endit, janda kaya itu, bukannya merasa kasihan. Yang terusik justru sifat tamak, kikir, dan sombong yang bersemayam dalam dirinya. Dengan kasar, Nyi Endit mengusir pengemis tua itu dari hadapannya. “Hai pengemis tua, jangan kotori pestaku dengan rupamu yang buruk dan bajumu yang bau, enyahlah kau dari rumahku,” ucap Nyi Endit membentaknya.


Dengan sedih dan gontai pengemis itu pergi. Keesokan harinya, masyarakat dibuat geger oleh kemunculan sebatang lidi yang tertancap di jalan desa. Semua orang berusaha mencabut lidi yang menghalangi aktivitas mereka. Akan tetapi, tak satu pun yang berhasil. Sampai akhirnya, muncul pengemis tua yang kemarin diusir oleh Nyi Endit. Dengan ringannya, ia mencabut lidi itu.
Akan tetapi, dari lubang bekas lidi tertancap itulah menyembur air dengan derasnya. Kali ini semburan air itu tak bisa dicegah, terus membanjiri, menggenangi, dan menenggelamkan segala yang dilewatinya. Penduduk yang ketakutan, berlarian menyelamatkan diri, naik ke puncak-puncak bukit dan punggung gunung, tak peduli dengan harta benda milik mereka. Hanya Nyi Endit seorang, yang karena terlampau sayang kepada harta benda miliknya, enggan meninggalkan rumahnya. Ia akhirnya mati ditelan air yang kemudian mendanau.


Bikin penasaran


Kisah Nyi Endit, si janda kaya nan sombong, tamak, dan kikir yang tenggelam ditelan danau begitu melegenda. Kisah yang menjadi ending sekaligus inti dari legenda atau sasakala Situ Bagendit, danau kecil yang terletak di Kecamatan Banyuresmi, Kab. Garut itu, termasuk salah satu dongeng terpopuler di masyarakat Jawa Barat. Kisahnya tak hanya dijadikan kisah pengantar tidur bagi anak-anak, dibacakan di sekolah-sekolah, bahkan berkali-kali disinetronkan.


Yang namanya legenda, tentu saja bersifat terbuka terhadap segala tafsir. Termasuk, terbuka juga terhadap kemungkinan orang percaya bahwa terbentuknya Situ Bagendit tak sekadar dongeng penuh siloka atau kisah berhikmah yang di dalamnya berisi nasihat, namun kisah itu true story alias kejadian nyata. Kenyataannya –seperti terhadap kebanyakan legenda yang ada– tak sedikit orang percaya bahwa Nyi Endit bukanlah tokoh fiksi hasil kreasi pujangga, melainkan sosok nyata yang pernah hidup di suatu zaman.


Terlepas orang percaya atau tidak, yang pasti, kisah tragis Nyi Endit begitu menarik sehingga menjadi alasan bagi banyak orang dari berbagai daerah mau berkunjung ke Situ Bagendit. Paling tidak, orang mau datang karena dibuat penasaran terhadap situs atau “peninggalan” tokoh legenda bernama Nyi Endit.


“Ya, namanya juga legenda Pak, pasti ceritanya bikinan orang zaman dulu dengan maksud tertentu. Tapi, kadang saya juga suka dibuat penasaran, jangan-jangan di tengah Situ Bagendit ini memang ada harta karun milik Nyi Endit. Kalau bisa sih, sekali-kali ada ekspedisi atau penelitian untuk membuktikan hal itu,” kata Asep, pemuda asal Tasikmalaya, sedikit berseloroh.
Seperti Asep, ada ratusan orang setiap bulannya yang berkunjung ke Situ Bagendit. Danau yang diapit empat desa, yakni Banyuresmi (di utara), Cipicung (selatan), Binakarya (timur), dan Sukamukti (barat) itu rata-rata setiap bulannya dikunjungi 700 orang. Mereka datang bukan hanya dari Kab. Garut, melainkan juga dari Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, Banjar, Bandung, bahkan Bogor dan Jakarta.


Umumnya, para wisatawan datang secara berkelompok, ada yang sekeluarga dengan satu mobil atau rombongan besar dengan beberapa bus. Ada juga yang menggunakan sepeda motor. “Biasanya Bagendit ramai pada hari Sabtu, Minggu, dan liburan. Yang pakai bus biasanya dari Jakarta,” kata Ny. Euis, pemilik warung apung di tengah Situ Bagendit.


Harga tiket masuk ke kawasan objek wisata Situ Bagendit relatif murah, Rp 2.000,00 per orang. Di area rekreasi, pengelola memang tidak menyediakan jasa pelayanan rekreasi mencari harta karun Nyi Endit. Jika pun ada, harta karun yang bisa dinikmati wisatawan adalah pemandangan alam nan elok dipandang mata, danau dengan latar belakang gunung dan bukit menjulang. Pemandangan itulah yang biasanya membetot rasa penasaran pengunjung untuk berlayar ke tengah danau menggunakan rakit bambu.


Untuk bisa menikmati pelayaran dengan rakit bambu yang berkapasitas 10 orang itu, pengunjung harus membayar Rp 30.000,00. Dengan durasi 30 menit, rakit itu membawa wisatawan berlayar ke tengah danau sambil menikmati cipratan air dan embusan udara dari pegunungan yang menyegarkan. “Nahkoda” rakit kemudian menambatkan rakitnya di warung apung di tengah danau yang menyediakan segala rupa makanan dan minuman.


Di warung inilah, wisawatan “disuruh” istirahat sejenak, menikmati kopi panas, segarnya air dawegan (kelapa muda), atau semangkuk mi rebus. Setelah puas, biasanya wisawatan ditawari berlayar ke ujung danau, di dekat gunung yang menjulang, tetapi tentu saja harus membayar lagi Rp 30.000,00. Jika tak bersedia, sang nahkoda rakit akan membawa wisatawan kembali ke pangkalan, menurunkan wisatawan, untuk kemudian membawa wisatawan lain berlayar ke tengah danau. Begitu seterusnya aktivitas yang dilakukan oleh sekitar 60 pengelola rakit yang ada di Situ Bagendit.


Tak hanya berlayar dengan rakit, wisatawan juga bisa menikmati rekreasi dengan menyewa sepeda air atau angsa dengan tarif Rp 10.000,00 selama 15 menit. Sementara di darat, di sisi danau, wisatawan bisa menikmati perjalanan dengan naik kereta api mini dengan tarif Rp 2.000,00. Sayangnya, rekreasi naik kereta api mini itu sangat membosankan karena hanya berputar-putar di area yang mudah dijangkau dengan jalan kaki. Padahal, jika rutenya dibuat khusus, mungkin akan lebih menarik.


Dilihat dari kondisi alamnya, sebenarnya Situ Bagendit sangat potensial menjadi objek wisata unggulan. Bentang alamnya sangat memukau setiap orang yang memandangnya. Itulah barangkali, harta karun sebenarnya yang ditinggalkan Nyi Endit.


Sayangnya, kondisi Situ Bagendit masih sangat memprihatinkan. Bukan saja fasilitas rekreasi seperti rakit bambu yang rata-rata sudah berusia tua, melainkan juga kondisi air danau yang dibiarkan kotor dan dipenuhi oleh eceng gondok. Sering kali, pelayaran menggunakan rakit atau sepeda air harus bertabrakan dengan onggokan eceng gondok yang mengapung dan menutupi permukaan air danau. Tentunya, ini adalah pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh pengelola Situ Bagendit.


Sumber : : http://www.pasundan.info/travel/situ-bagendit.html

WISATA ALAM

0 komentar
GUNUNG BURANGRANG

Oleh : Imam Syarifuddin


UDARA dingin di Desa Kertawangi terasa begitu menusuk sumsum. Nyanyian burung-burung di pagi hari terasa begitu indah dan harmonis. Puncak Gunung Burangrang masih tertidur diselimuti kabut putih yang menawan. Tampaknya sinar matahari pagi masih enggan memancarkan sinarnya seakan-akan masih terbuai dalam tidurnya.


Wisata alam Gunung Burangrang yang terletak di Desa Kertawangi Kecamatan Cisarua Kabupaten Bandung, tidak pernah sepi dari para wisatawan petualang yang ingin menikmati keindahannya dengan berbagai pesona alam dan misterinya.
Untuk mencapai Gunung Burangrang dapat ditempuh dari berbagai jalur pendakian, misalnya melewati Desa Kertawangi, dari arah Bandung menuju Cihanjuang dengan ongkos Rp 3.000,.


Kemudian dari Cihanjuang dilanjutkan dengan angkutan mobil Colt warna ungu menuju Parongpong seharga Rp 3.500 atau bisa diborong sampai dengan Gerbang Komando seharga Rp 4.000,00 per orang. Dari Pos Komando, kita akan menemukan jalan berbatu sampai Gerbang Militer Kopassus, dari sana belok ke kiri, jangan masuk ke gerbang Militer karena bila masuk akan menuju Situ Lembang, Gunung Sunda, dan Gunung Tangkuban Parahu.


Sepanjang jalan menuju pintu gerbang Situ Lembang akan melewati bukit-bukit yang indah dan cukup menguras tenaga. Masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Burangrang, kebanyakan bertani sayuran dan berternak sapi. Mereka sangat ramah seperti orang-orang Sunda pada umumnya jika menyambut tamu. Jika naik dari Cihanjuang, sepanjang jalan yang dilewati akan dijumpai vila-vila dan perumahan yang indah serta wahana wisata Curug Cimahi yang berada di kaki Gunung Burangrang.


Ada pula cara lain, misalnya berangkat dari Bandung menuju Subang dengan kendaraan bis atau mobil Elf, lalu turun di gerbang Tangkubanparahu yang merupakan objek wisata alam yang cukup terkenal di Jawa Barat. Dari Puncak Gunung Tangkubanparahu, kita menuruni tower Tangkubanparahu menuju Gunung Burangrang dengan terlebih dahulu akan melewati kawah Upas, Domas, Ratu, dan Jurig yang cukup menawan di kawasan Tangkubanparahu.


Saat kami berada di puncak Gunung Burangrang, lambat laun matahari mulai bangkit dari peraduannya dan perlahan-lahan menerangi Desa Kertawangi, sehingga menjadi terang dan cerah. Desa Kertawangi merupakan titik awal pendakian menuju puncak Gunung Burangrang. Walaupun gunung itu tidak terlalu tinggi, kawasan hutan Gunung Burangrang memiliki jenis flora dan fauna yang bervariasi. Kelebatan hutannya pun masih terjaga dengan baik sehingga menarik bagi para petualang alam bebas.


Di samping keindahan alamnya, di kawasan Gunung Burangrang terdapat danau yang cukup besar dan indah bernama Situ Lembang. Situ ini jika terkena sinar matahari akan memantulkan warna pelangi yang memesona. Masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Burangrang memanfaatkan situ (danau) ini untuk memancing, karena di Situ Lembang terdapat berbagai jenis ikan untuk dikonsumsi.


Tepat pukul 8.00 WIB memulai melakukan pendakian dengan tidak lupa mengisi persediaan air yang cukup, karena sumber air di atas sana sulit dijumpai selama perjalanan pendakian. Dengan diiringi doa, kami mulai berangkat menuju puncak Gunung Burangrang.


Suara harmoni burung-burung berkicau masih terdengar saling bersahutan melepas kepergian kami menuju puncak.
Sepanjang jalan pendakian masih didominasi pohon-pohon pinus. Kami melewati bukit-bukit yang menguras banyak tenaga. Sejenak kami beristirahat menghirup udara segar alam Burangrang. Sekali-kali cahaya langit mengintip di balik daun-daun dalam kelebatan hutannya.


Puncak Burangrang dapat ditempuh kurang lebih empat jam pendakian dari Desa Kertawangi. Bila telah tiba di puncak, ada rasa damai, tenteram, serta bahagia, yang seolah-olah menyatu dalam batin. Dari puncak Gunung Burangrang pemandangannya menakjubkan dan tampak awan putih menyelimuti gunung-gunung di sekitarnya. Terlihat pula dengan jelas dari kejauhan Gunung Tangkubanparahu nan elok.


Pemandangan yang tidak kalah menariknya adalah hamparan sawah dan rumah-rumah di sekitar Cisarua serta Situ Lembang yang terlihat begitu indah dan menawan. Matahari naik semakin tinggi. Waktu telah menunjukkan pukul 14.00 WIB. Kami memutuskan untuk turun kembali menuju Desa Kertawangi yang merupakan titik awal pendakian.


Sumber : http://www.pasundan.info/travel/gunung-burangrang.html

LEGENDA RAKYAT JAWA BARAT

1 komentar

CIUNG WANARA

Ditulis kembali oleh : J.Haryadi

Prabu Barma Wijaya Kusuma adalah seorang raja yang memerintah kerajaan Galuh yang sangat luas. Ia mempunyai dua orang permaisuri yang cantik. Permaisuri pertama bernama Pohaci Naganingrum dan yang kedua bernama Dewi Pangrenyep. Keduanya sedang mengandung anak sang raja. Sembilan bulan kemudian Dewi Pangrenyep melahirkan seorang putra dan diberi nama Hariang Banga. Tentu saja peristiwa ini membuat Raja sangat bersuka cita.

Tiga bulan sejak kelahiran Hariang Banga, permaisuri Pohaci Naganingrum belum juga melahirkan.
Dewi Pangrenyep sangat khawatir kalau-kalau Pohaci melahirkan seorang putra yang nanti dapat merebut kasih sayang raja terhadap Hariang Banga, sehingga timbul niat jahatnya untuk mencelakakan putra Pohaci.


Saat yang dinanti-nantikanpun tiba, pada bulan ke-13, Pohaci melahirkan putranya. Atas upaya Dewi Pangrenyep, tak seorangpun para dayang diperkenankan menolong kelahiran Pohaci, kecuali Dewi Pangrenyep sendiri. Niat jahatnya segera dilaksanakan dengan cara mengganti putra Pohaci dengan seekor anjing. Ia mengatakan seolah-olah Pohaci telah melahirkan seekor anjing. Kemudian Bayi Pohaci dimasukkannya ke dalam kandaga emas disertai telur ayam dan dihanyutkannya ke sungai Citandui.

Peristiwa ini tentu membuat malu dan murka sang raja Karena Pohaci Naganingrum yang telah melahirkan seekor anjing. Rajapun memerintahkan Si Lengser (pegawai istana) untuk membunuh Pohaci. Si Lengser yang baik hati tidak tega membunuh permaisuri raja yang rendah hati tersebut. Lalu ia berpura-pura melaksanakan titah sang raja dan melaporkan telah membunuhnya, Pohaci telah diselamatkannya dengan cara menyembunyikannya ke desa tempat kelahirannya.

Di sebuah desa Geger Sunten yang terpecil terdapat Adalah seorang Aki bersama istrinya yang bernama Nini Balangantrang. Desa tersebut terletak jauh dipedalaman hutan dan sulit ditempuh. Sepasang Aki dan Nini tersebut sudah lama menikah tetapi belum dikarunia anak.

Suatu malam Nini bermimpi kejatuhan bulan purnama. Mimpi itu diceritakannya kepada suami dan sang suami mengetahui takbir mimpi itu, bahwa mereka akan mendapat rezeki. Malam itu juga Aki pergi ke sungai membawa jala untuk menangkap ikan.
Betapa terkejut dan gembira ia mendapatkan kandaga emas yang berisi bayi beserta telur ayam. Mereka asuh bayi itu dengan sabar dan penuh kasih sayang. Telur ayam itu pun mereka tetaskan dan dipelihara hingga menjadi seekor ayam jantan yang ajaib dan perkasa. Anak angkat ini mereka beri nama Ciung Wanara.

Belasan tahun kemudian Ciung Wanara tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa. Ia bertanya kepada ayah dan ibu angkatnya tentang asal usulnya Aki dan Nini pun menceritakan tentang asal-usul Ciung Wanara. Setelah mendengar cerita dari orangtua angkatnya, Ciung Wanara jadi mengerti siapa dirinya.

Suatu hari Ciung Wanara pamit untuk menyabung ayamnya dengan ayam raja, karena didengarnya raja gemar menyabung ayam. Taruhannya ialah, bila ayam Ciung Wanara kalah maka ia rela mengorbankan nyawanya. Tetapi bila ayam raja kalah, raja harus bersedia mengangkatnya menjadi putra mahkota. Raja menerima dengan gembira tawaran tersebut.

Sebelum ayam berlaga, ayam Ciung Wanara berkokok dengan anehnya, melukiskan peristiwa puluhan tahun yang lampau tentang permaisuri yang dihukum mati dan kandaga emas yang berisi bayi yang dihanyutkan. Raja tidak menyadari hal itu, tetapi sebaliknya Si Lengser sangat terkesan akan hal itu. Bahkan ia menyadari sekarang bahwa Ciung Wanara yang ada di hadapannya adalah putra raja sendiri.

Setelah persabungan, ayam baginda kalah dan ayam Ciung Wanara menang. Raja menepati janji dan Ciung Wanara diangkat menjadi putra mahkota. Dalam pesta pengangkatan putra mahkota, raja membagi 2 kerajaan untuk Ciung Wanara dan Hariang Banga. Selesai pesta pengangkatan putra mahkota, Si Lengser bercerita kepada raja tentang hal yang sesungguhnya mengenai permaisuri Pohaci Naganingrum dan Ciung Wanara.

Mendengar cerita itii raja memerintahkan pengawal agar Dewi Pehgrenyep ditangkap. Akibatnya timbul perkelahian antara Hariang Banga dengan Ciung Wanara. Tubuh Hariang Banga dilemparkan ke seberang sungai Cipamali yang sedang banjir besar. Sejak itulah kerajaan Galuh dibagi menjadi 2 bagian dengan batas sungai Cipamali. Di bagian barat diperintah oleh Hariang Banga. Orang-orangnya menyenangi kecapi dan menyenangi pantun. Sedangkan bagian timur diperintah oleh Ciung Wanara. Orang-orangnya menyenangi wayang kulit dan tembang. Kegemaran penduduk akan kesenian tersebut masih jelas dirasakan sampai sekarang.

Sumber :
http://www.pasundan.info/legend/ciung-wanara.html